Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Minggu, 12 Oktober 2008

Indahnya Sinetron di Romangtangayya

AZAN Isya dari sebuah masjid kecil di Kampung Romangtangayya belum lama usai. Rusniah (26) menyaksikan tayangan sinetron pada televisi 14 inci di rumahnya sambil menidurkan anak perempuannya. Tiba-tiba, pett. Listrik padam. Setengah mengeluh ia beranjak ke dalam kamar tidurnya.

Aneh rasanya ada tempat seperti Kampung Romangtangayya sekarang ini. Secara administratif, kampung ini terletak di Kelurahan Tamangapa, Kecamatan Manggala, di dalam Kota Makassar. Tetapi suasananya seperti di daerah pedalaman yang terkucil.

Tidak ada sambungan listrik dari PLN, air bersih dari PDAM, apalagi jaringan telepon dari Telkom. Satu-satunya pembangkit listrik yang ada di Romangtangayya adalah sebuah genset milik ketua kampung berkapasitas 3.000 watt dengan waktu operasi yang sangat terbatas.

Kampung di sebelah timur Tamangapa ini dikelilingi hamparan persawahan dan lahan kosong yang sangat luas. Seperti pulau di tengah lautan. Tidak ada juga akses jalan ke sana. Satu-satunya jalan yang harus dilalui warga adalah pematang sawah sepanjang kurang lebih dua kilometer.

Rusniah, suami, dan anak mereka tinggal di sebuah rumah panggung. Mereka adalah satu dari 100 keluarga lainnya yang tinggal di kampung terkucil itu. Setiap hari mereka hanya menikmati listrik selama tiga jam, mulai pukul 18.00 sampai 21.00. Selebihnya, gelap sepanjang malam.

"Saya suka sekali nonton sinetron. Tapi selalu tidak habis dilihat. Sebab, listrik sudah mati sebelum sinetronnya habis," katanya dengan Bahasa Indonesia berlogat Makassar. "Saya ingin nonton sinetron sampai larut malam," katanya penuh harap.

Tidak ada yang tahu persis sejak kapan kampung ini dihuni. Lurah Tamangapa, Mahyudin, berkisah, kampung ini adalah tempat pelarian pembangkang pajak kolonial. Dulu adalah sebuah tempat di tengah hutan. Seperti namanya, Romang dalam bahasa Makassar berarti hutan dan tangayya berarti tengahnya.

Dg Ruppa, seorang warga, mengatakan, 20 tahun yang lalu kampung ini sering menjadi sasaran jarahan perampok. Sekarang sudah tidak lagi. Tapi kampungnya ini selalu terendam air sedalam 1-1,2 meter setiap musim hujan karena luapan kanal pembuangan Sungai Jeneberang.

Luapan itu mengubah kampung dan hamparan sawah menjadi danau. Jika tidak dengan perahu, tidak ada warga keluar kampung, tidak ada anak-anak bersekolah. Wakil Wali Kota Makassar, Andi Herry Iskandar, Selasa (21/11) lalu, mengatakan, tanggul pinggir kanal untuk menghalau air adalah prioritas.

"Listrik itu nanti. Yang penting air tidak masuk kampung," tegasnya. Rusniah dan puluhan ibu-ibu yang lain tampaknya harus menerima pernyatan ini. Kenyataanya, banjir memang lebih berbahaya ketimbang tak melihat sinetron.(furqon majid)

Tidak ada komentar: