Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Kamis, 16 Oktober 2008

Hikayat Tanah Hitu, Jejak Melayu Bugis di Maluku (2)

TAHAP kedua penyebaran bahasa Melayu ke arah timur Indonesia terjadi saat migrasi secara besar-besaran ke Papua. Bermula sejak penyerahan Irian Jaya (nama Papua saat itu) dari Kerajaan Belanda kepada Pemerintah RI. Pemerintah saat itu menggalakkan program transmigrasi.

Migrasi orang Bugis membawa identitas hidup pallaonruma (petani), pakkaja (nelayan), dan passompe (pelaut pedagang). Passompe ini kebayakan menjadi saudagar yang berusaha di bidang ekspor dan impor. Mereka berdagang antarpulau ke pulau satu musim.

Apabila datang musim timo (kemarau), mereka berlayar ke arah barat dan jika sudah datang musim bare' (hujan) mereka pulang ke kampungnya.

Mereka berlayar dari perairan Sulawesi sampai Laut Arafura. Motivasi masyarakat Bugis ke Papua adalah mencari sumber penghidupan. Alasan ini menjadi lebih kuat setelah Indonesia mengalami kemerosotan ekonomi tahun 1963 atau saat pemerintahan Presiden Soekarno.

Mereka memanfaatkan nilai tukar uang setelah Indonesia mengalami inflasi pada tahun 1962 dan 1968. Nilai mata uang rupiah di Papua saat itu relatif tinggi dibandingkan dengan provinsi lain di luar Papua.

Orang Bugis di Papua ini mengalami perkembangan pesat, mereka kemudian menetap dan membentuk komunitas. Dalam kehidupan sehari-hari mereka menggunakan dua bahasa (bilingual), yaitu bahasa Bugis untuk sesama orang Bugis, dan bahasa Melayu kepada masyarakat pribumi.

Meskipun banyak pedagang dari pulau lain ke Papua, namun komunitas Bugis lah yang banyak menetap di Papua. Akibatnya bahasa Melayu melekat dan berasimilasi dengan bahasa Papua, yang dikenal dengan bahasa Melayu-Papua.

Kini jejak-jejak bahasa Melayu dapat dilihat di sepanjang rute migrasi, di Pulau Sulawesi dan Maluku. Misalnya saja adanya dialek Melayu yang dituturkan oleh masyarakat Maluku tengah melaui teks buku keagamaan baik itu agama Islam maupun Kristen.

Selain itu terdapat juga manuskrip yang ditulis pada abad ke-17 dalam bahasa Melayu, di antaranya, Hikayat Tanah Hitu, Hikayat Nabi Musa, dan Hikayat Nabi Yusuf. Karya-karya ini tersohor di seantero nusantara pada waktu itu.

Di masa ini lahir sastrawan-sastrawan Melayu dari Makassar dan Ambon, seperti Encik Amin pencipta naskah Syair Perang Mangkasara dan Imam Rijali. Temuan ini menunjukkan, masyarakat Makassar dan Ambon sudah menggunakan bahasa Melayu sejak abad ke-17.(suryana anas/furqon majid)

Tidak ada komentar: