Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Kamis, 16 Oktober 2008

Jangan Bingung, Orang Bilang Makang Ikang (3)

DI sebuah rumah di Jl Batua Raya, Makassar, ada spanduk bertuliskan "Menerima Rias Penganting." Di Jl Alauddin ada juga papan di pinggir jalan bertuliskan "Pres Bang Dalam." Begitulah bahasa Melayu mengalami adaptasi dalam pengucapan. Orang Makassar menyebutnya okkod.

Jejak penyebaran bahasa Melayu kental di Sulawesi Selatan. Setidaknya dapat dilihat dari cara pengucapan orang Bugis dan Makassar. Bahasa Melayu membentuk kembali sesuai dengan ranah tempatnya tertanam. Ada Melayu Bugis, Melayu Makassar, Melayu Mandar, dan Melayu Toraja, ada juga Melayu Kendari.

Pakar linguistik dari Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, Sadra Safitri, menjelaskan, dialek Melayu Bugis dan Makassar memiliki ciri-ciri varian yang menunjukkan banyak perbedaan dengan dialek Melayu di Indonesia timur.

Sadra merupakan salah satu pembicara dalam Seminar Internasional Kemelayuan di Indonesia Timur di gedung IPTEKS Unhas, Tamalanrea, Makassar, Minggu (12/10). Seminar ini digelar Pusat Studi Melayu Unhas dalam rangkaian Dies Natalis Universitas Hasanuddin (Unhas) yang ke-52.

Menurut Sadra, selain itu terdapat perubahan fonetik, seperti adanya konsonan panjang, perbedaan kosakata, dan jumlah partikel yang sering digunakan untuk menunjukkan emosi dan tanggapan penutur.

Bahasa Melayu memang terbuka dalam penggunaan partikel-partikel tertentu. Di Sulawesi, partikel itu umumnya berfungsi sebagai penegas. Seperti partikel ji, mi, pi, mo, ma', di', tonji, tawwa, pale.

Dosen Sastra Indonesia Unhas, Dr Nurhayati M Hum, juga berpendapat serupa. Partikel-partikel ini muncul saat penutur daerah menggunakan bahasa Melayu. Partikel-partikel ini melekat dan menjadi ciri sesuai dengan bahasa daerahnya.

Orang Bugis dan Makassar menggunakan partikel mi, moko, dan ji. Sedangkan orang Mandar banyak menggunkan partikel O. Sementara orang Toraja menggunakan parteikel le'. Namun partikel ini masih mempunyai variasi. Tergantung siapa penutur dan orang yang diajaknya bertutur.

Untuk dialek Melayu Bugis dan Makassar misalnya, mereka biasanya menggunakan struktur susunan kalimat yang berurutan verbal, subjek, dan objek (VSO). Sedangkan dialek-dialek lain di Indonesia timur mempelihatkan urutan SVO.

Misalnya dalam kalimat, "Saya makan ikan". Untuk Melayu Makassar bunyinya menjadi, "Makan-ka ikang". Dengan sedikit perubahan, orang Bugis mengatakan, "Makang-a ikang." Sedangkan untuk Melayu-Ambon, "Beta makan ikang".

Dialek Melayu Bugis Makassar adalah bahasa aglutinatif, yaitu unsur-unsur verbal nominal dan partikel dipadukan disambung menjadi dua kata yang panjang, dan kata itu tidak dapat dipisahkan, serta kadang-kadang tidak dapat disisipkan.

Unsur-unsur yang disatukan itu mengalami perubahan fonetik yang mengikat semua unsur kata. Misalnya dalam kalimat, "Makammaki (silakan Anda makan)", yaitu dengan perubahan bunyi "makang" menjadi "makam" karena dicantumkan ke partikel ma'.

Maka, jangan bingung dengan cara pengucapan orang Bugis da Makassar. Pahami maksud ucapan dengan memisahkan kata asli dan partikelnya. Ayo mi, ambil mi, jangan mi, tidak ji, itu mo, mau ka', dan lain sebagainya. Jangan bingung juga dengan kata makang, ikang, dan lain sebagainya.(suryana anas/furqon majid)
Baca selanjutnya..

Hikayat Tanah Hitu, Jejak Melayu Bugis di Maluku (2)

TAHAP kedua penyebaran bahasa Melayu ke arah timur Indonesia terjadi saat migrasi secara besar-besaran ke Papua. Bermula sejak penyerahan Irian Jaya (nama Papua saat itu) dari Kerajaan Belanda kepada Pemerintah RI. Pemerintah saat itu menggalakkan program transmigrasi.

Migrasi orang Bugis membawa identitas hidup pallaonruma (petani), pakkaja (nelayan), dan passompe (pelaut pedagang). Passompe ini kebayakan menjadi saudagar yang berusaha di bidang ekspor dan impor. Mereka berdagang antarpulau ke pulau satu musim.

Apabila datang musim timo (kemarau), mereka berlayar ke arah barat dan jika sudah datang musim bare' (hujan) mereka pulang ke kampungnya.

Mereka berlayar dari perairan Sulawesi sampai Laut Arafura. Motivasi masyarakat Bugis ke Papua adalah mencari sumber penghidupan. Alasan ini menjadi lebih kuat setelah Indonesia mengalami kemerosotan ekonomi tahun 1963 atau saat pemerintahan Presiden Soekarno.

Mereka memanfaatkan nilai tukar uang setelah Indonesia mengalami inflasi pada tahun 1962 dan 1968. Nilai mata uang rupiah di Papua saat itu relatif tinggi dibandingkan dengan provinsi lain di luar Papua.

Orang Bugis di Papua ini mengalami perkembangan pesat, mereka kemudian menetap dan membentuk komunitas. Dalam kehidupan sehari-hari mereka menggunakan dua bahasa (bilingual), yaitu bahasa Bugis untuk sesama orang Bugis, dan bahasa Melayu kepada masyarakat pribumi.

Meskipun banyak pedagang dari pulau lain ke Papua, namun komunitas Bugis lah yang banyak menetap di Papua. Akibatnya bahasa Melayu melekat dan berasimilasi dengan bahasa Papua, yang dikenal dengan bahasa Melayu-Papua.

Kini jejak-jejak bahasa Melayu dapat dilihat di sepanjang rute migrasi, di Pulau Sulawesi dan Maluku. Misalnya saja adanya dialek Melayu yang dituturkan oleh masyarakat Maluku tengah melaui teks buku keagamaan baik itu agama Islam maupun Kristen.

Selain itu terdapat juga manuskrip yang ditulis pada abad ke-17 dalam bahasa Melayu, di antaranya, Hikayat Tanah Hitu, Hikayat Nabi Musa, dan Hikayat Nabi Yusuf. Karya-karya ini tersohor di seantero nusantara pada waktu itu.

Di masa ini lahir sastrawan-sastrawan Melayu dari Makassar dan Ambon, seperti Encik Amin pencipta naskah Syair Perang Mangkasara dan Imam Rijali. Temuan ini menunjukkan, masyarakat Makassar dan Ambon sudah menggunakan bahasa Melayu sejak abad ke-17.(suryana anas/furqon majid)
Baca selanjutnya..

Senin, 13 Oktober 2008

Orang Bugis, Berlayar Menebar Bahasa Melayu (1)

ORANG Bugis mulai melakukan migrasi besar-besaran gelombang pertama pada tahun 1667. Di perantauan mereka berbicara dengan bahasa Melayu. 261 tahun setelah peristiwa besar itu, bahasa Melayu diadaptasi menjadi Bahasa Indonesia dan menjadi unsur terpenting nasionalisme Indonesia.

Tulisan ini memuat intisari penelitian dua pakar linguistik, James T Collins dari Center for Southeast Asian Studies, Northern Illinois University, Australia, dan Sukardi Gau dari Balai Bahasa Jayapura dan Institut Alam dan Tamadun, Universiti Kebangsaan Malaysia.

Keduanya diundang untuk memaparkan hasil-hasil penelitian tentang persebaran bahasa Melayu di Indonesia bagian timur dalam Seminar Internasional Kemelayuan di Indonesia Timur, di Gedung IPTEKS Unhas, Tamalanrea, Makassar, Minggu (12/10).

Kajian mengenai keberadaan bahasa Melayu di Indonesia timur terabaikan. Banyak pengkaji sejarah bahasa melihat produk kebudayaan Melayu itu tidak memiliki jejak sedikit pun di Indonesia timur, termasuk Sulawesi. Melayu dianggap hanya berakar di Sumatera dan semenajung Malaka.

"Nnusantara timur (demikian sebutan Collins untuk Indonesia timur), sudah lama terkait dengan sistem perdagangan global. Pedagang dari wilayah ini memasok bahan rempah-rempah di pasaran dunia terutama di Cina, India dan eropa," kata Collins.

Dalam proses perdagangan inilah bahasa Melayu digunakan untuk berkomunikasi. Bahasa Melayu di Indonesia timur ini kemungkianan berasal dari wilayah Kalimantan yang digunakan sebagai wahana dalam konteks keberagaman dan perdagangan internasional.

Menurut Collins, titik permulaan penggunaan bahasa Melayu di Indonesia timur ini belum dapat dipastikan waktunya. Tetapi sejak kapal asing masuk di nusantara sekitar abad ke-16, masyarakat nusantara timur sudah bertutur dalam bahasa Melayu.

Senada dengan Collins, Sukardi juga tidak dapat menandai titik awal penggunaan bahasa Melayu di Indonesia timur. Yang ia kaji adalah adaperan besar orang Bugis (juga Makassar) dalam penyebarannya. Titik awalnya adalah migrasi pascapergolakan politik tahun 1667.

"Pergolakan itu adalah peperangan antara Kerjaan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin dengan Belanda. Peperangan ini berakhir dengan kekalahan Gowa yang ditandai dengan Perjanjian Bungaya, 18 November 1667," katanya.

Perjanjian itu ditulis dalam dua bahasa. Bahasa Belanda untuk para pejabat dan opsir Belanda dan bahasa Melayu untuk Sultan Hasanuddin dan pasukannya. Ini membuktikan bahasa Melayu telah menjadi bahasa di Sulawesi bagian Selatan saat itu.

Orang Bugis yang memilih pergi merantau saat itu memilih bekerja sebagai pedagang serta menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa sehari-hari.(suryana anas/furqon majid)

Tulisan ini juga diterbitkan di www.tribun-timur.com
Baca selanjutnya..

Minggu, 12 Oktober 2008

Ada Lorong Janda di Pulau Baranglompo

SITIARA (37) berbicara tanpa ekspresi. Duduk di sebuah kursi yang agak usang dan bertutur dengan kalimat-kalimat datar. Seakan ia tidak ingin mengenang peristiwa dua tahun silam. Sitiara tinggal di sebuah lorong yang kerap disebut warga setempat Lorong Janda.

Lorong itu terletak di Pulau Baranglompo, sekitar 12 kilometer dari pesisir Makassar. Secara administratif pulau ini terletak di Kecamatan Ujungtanah. Sebagian besar para suami di sana meninggal akibat menyelam di laut mencari teripang.

"Nama Lorong Janda itu ada sejak tujuh tahun yang lalu. Sebagian besar perempuan di sana memang ditinggal mati suaminya," ujar Lurah Baranglompo, A Musyarafa, memberitahukan keberadaan lorong tersebut di Pulau Baranglompo, Sabtu (16/6).

Memang tidak semua menjanda akibat suaminya meninggal karena menyelam. Ada juga perempuan menjadi janda setelah suaminya tidak kunjung pulang dari merantau. Mungkin kecantol perempuan lain. Namun, kasus kematian karena menyelam secara tradisional cukup dominan di sana.

Terdapat sekitar 150 keluarga di lorong sepanjang kurang lebih 300 meter tersebut. Beberapa ibu tanpa suami itu harus meneruskan hidup dengan berdagang kecil-kecilan. Ada juga anak-anak yang sudah cukup besar ikut membantu ibu mereka dengan melaut.

Sittiara menuturkan, suaminya, Nurdin Ba'be, meninggal dua tahun lalu setelah menyelam pada kedalaman 20 meter selama lebih dari satu jam di perairan Kalimantan Timur. Dua hari setelah menyelam sekujur tubuhnya lumpuh sebelum akhirnya meninggal dunia.

"Suami saya sebenarnya tahu bahwa menyelam itu berbahaya. Tapi demi penghasilan, meski berbahaya dia tetap menyelam," katanya dengan Bahasa Makassar sepotong-potong. Selain sang suami, dua anggota keluarganya juga meninggal karena menyelam.

Musyarafa mengatakan, pekerjaan menyelam sebenarnya juga dilakukan hampir oleh semua laki-laki di Pulau Baranglompo. Karena itu, jika kebiasaan menyelam secara tradisional ini berlanjut, ratusan perempuan di Baranng Lompo terancam menjadi janda.

Penyelam hanya menggunakan bantuan kompresor (pemompa udara) yang tersambung dengan selang panjang untuk bernapas. Dengan hanya bercelana pendek dan ujung selang di mulut, mereka masuk ke kedalaman laut, tanpa pelindung apa pun di bagian kepala.

Warga tergiur dengan mahalnya harga teripang. Teripang jenis koro yang banyak dicari. Binatang ini hidup di kedalaman 10 meter lebih. Harganya mencapai Rp 100 ribu per ekor. Sekali menyelam, mereka bisa membawa pulang sampai Rp 2 juta.


Kepala Dinas Kesehatan Kota Makassar, dr Naisyah TN Azikin, mengatakan, pihaknya telah berkali-kali melakukan sosialisasi tentang bahaya menyelam secara tradisional. Namun, warga beralasan hanya itu pekerjaan yang bisa mereka lakukan.

"Kematian bisa diakibatkan keracunan nitrogen yang dihembuskan oleh kompresor menyerupai alat pemompa ban kendaraan bermotor. Paru-paru penyelam rusak dan nitrogen menyebar ke seluruh tubuh, dan akhirnya merusak jaringan otak. Bisa juga karena tekanan di kedalaman," kata Naisyah.

Saat ini saja, sebanyak 22 orang warga Baranglompo terbaring karena sekujur tubuhnya lumpuh. Sementara yang meninggal tercatat sudah ratusan orang. Terakhir, kasus kematian akibat menyelam dialami Jumadil (18) sekitar 10 hari yang lalu.

Bagaimana efektifitas sosialisasi itu? Naisyah mengatakan, belum terlalu baik hasilnya. Kelumpuhan akibat kerusakan syaraf karena tekanan pada kedalaman 10-20 meter di bawah permukaan air tidak membuat warga kepulauan takut. Sampai saat ini masih banyak saja penyelam tradisional.(furqon majid)
Baca selanjutnya..

Patung Patompo dalam Ruang Kusam


MENEMPATI sebuah gedung tua bangunan Belanda yang pernah digunakan sebagai kantor DPRD Kota Makassar dekade 1970-an. Dari luar, gedung yang ukurannya lebih kecil dari rumah jabatan wali kota itu terlihat agak kusam. Dari dalam, ruang-ruangannya yang besar juga nyaris kekurangan cahaya.

Museum Kota Makassar terletak di Jl Balaikota, tepat di seberang Balaikota Makassar. Telah lama museum ini kekurangan koleksi dan nyaris tidak terurus. Pengurus museum mengatakan, alokasi anggaran yang diberikan Pemerintah Kota Makassar sangat minim. Hanya Rp 100 juta per tahun.

"Dari APBD kami hanya mendapatkan Rp 100 juta setiap tahun. Itu untuk honor 12 orang staf, delapan orang dewan kurator, dan empat orang pembina. Dari anggaran itu, kita tidak bisa menambah koleksi," ujar Kepala Museum Kota Makassar, A Irma Kusuma, di Makassar, Sabtu (18/11).

Museum kota ini digagas pertama kali oleh mantan Wali Kota Makassar, Amiruddin Maula, pada tahun 1999. Namun pengelolaannya oleh Dinas Pariwisata Kota Makassar baru pada Maret 2002. Konsep pengelolaan adalah menjadikannya sebagai salah satu pusat perhatian di Kota Makassar.

"Kami punya 13 ribu koleksi, antara lain etnografi, naskah, koleksi foto, pakaian, dan furniture. Itu pun dari pemberian pihak lain. Sangat sedikit jika berbicara koleksi ideal sebuah museum," lanjut Irma.

Terakhir pengurus mendapatkan patung Dg Patompo (Mantan Wali Kota) melalui putranya, Endong Patompo. Beberapa lagi dari PDAM dan TVRI berupa etnografi. Selebihnya, sama sekali tidak ada penambahan koleksi.

Setiap hari kerja, pintu-pintu besarnya terbuka lebar. Untuk masuk, pengunjung tak dikenai biaya sepeser pun. Namun, hanya 10-15 orang datang setiap hari. Kebanyakan orang asing dan peneliti. Kadang rombongan anak sekolah. Masyarakat umum dipastikan tidak tertarik mengunjungi gedung ini.

"Koleksinya, ruangannya, dan fasilitasnya tidak memberikan alasan kepada kami untuk memungut biaya masuk. Ke depan, saya menginginkan museum ini menjadi pusat atraksi budaya. Juga memiliki konsep entertaint. Semoga ada kepedulian pemerintah kota," kata Irma berharap.

Anggaran untuk museum memang sangat kecil. Bandingkan dengan biaya promosi wisata ke Berlin, Jerman, beberapa waktu lalu yang menghabiskan Rp 600 juta dalam waktu hanya satu minggu. Hari ini, sebuah rombongan lagi akan berangkat ke Cina untuk mempromosikan "kehebatan" Kota Makassar. Pastinya juga menghabiskan dana ratusan juta rupiah.(furqon majid)
Baca selanjutnya..

Indahnya Sinetron di Romangtangayya

AZAN Isya dari sebuah masjid kecil di Kampung Romangtangayya belum lama usai. Rusniah (26) menyaksikan tayangan sinetron pada televisi 14 inci di rumahnya sambil menidurkan anak perempuannya. Tiba-tiba, pett. Listrik padam. Setengah mengeluh ia beranjak ke dalam kamar tidurnya.

Aneh rasanya ada tempat seperti Kampung Romangtangayya sekarang ini. Secara administratif, kampung ini terletak di Kelurahan Tamangapa, Kecamatan Manggala, di dalam Kota Makassar. Tetapi suasananya seperti di daerah pedalaman yang terkucil.

Tidak ada sambungan listrik dari PLN, air bersih dari PDAM, apalagi jaringan telepon dari Telkom. Satu-satunya pembangkit listrik yang ada di Romangtangayya adalah sebuah genset milik ketua kampung berkapasitas 3.000 watt dengan waktu operasi yang sangat terbatas.

Kampung di sebelah timur Tamangapa ini dikelilingi hamparan persawahan dan lahan kosong yang sangat luas. Seperti pulau di tengah lautan. Tidak ada juga akses jalan ke sana. Satu-satunya jalan yang harus dilalui warga adalah pematang sawah sepanjang kurang lebih dua kilometer.

Rusniah, suami, dan anak mereka tinggal di sebuah rumah panggung. Mereka adalah satu dari 100 keluarga lainnya yang tinggal di kampung terkucil itu. Setiap hari mereka hanya menikmati listrik selama tiga jam, mulai pukul 18.00 sampai 21.00. Selebihnya, gelap sepanjang malam.

"Saya suka sekali nonton sinetron. Tapi selalu tidak habis dilihat. Sebab, listrik sudah mati sebelum sinetronnya habis," katanya dengan Bahasa Indonesia berlogat Makassar. "Saya ingin nonton sinetron sampai larut malam," katanya penuh harap.

Tidak ada yang tahu persis sejak kapan kampung ini dihuni. Lurah Tamangapa, Mahyudin, berkisah, kampung ini adalah tempat pelarian pembangkang pajak kolonial. Dulu adalah sebuah tempat di tengah hutan. Seperti namanya, Romang dalam bahasa Makassar berarti hutan dan tangayya berarti tengahnya.

Dg Ruppa, seorang warga, mengatakan, 20 tahun yang lalu kampung ini sering menjadi sasaran jarahan perampok. Sekarang sudah tidak lagi. Tapi kampungnya ini selalu terendam air sedalam 1-1,2 meter setiap musim hujan karena luapan kanal pembuangan Sungai Jeneberang.

Luapan itu mengubah kampung dan hamparan sawah menjadi danau. Jika tidak dengan perahu, tidak ada warga keluar kampung, tidak ada anak-anak bersekolah. Wakil Wali Kota Makassar, Andi Herry Iskandar, Selasa (21/11) lalu, mengatakan, tanggul pinggir kanal untuk menghalau air adalah prioritas.

"Listrik itu nanti. Yang penting air tidak masuk kampung," tegasnya. Rusniah dan puluhan ibu-ibu yang lain tampaknya harus menerima pernyatan ini. Kenyataanya, banjir memang lebih berbahaya ketimbang tak melihat sinetron.(furqon majid)

Baca selanjutnya..

Sabtu, 11 Oktober 2008

Hendak Jual Hasil Curian, Malah Dilaporkan Polisi

Makassar - Lima pemuda pencuri ini benar-benar sial. Setelah main kucing-kucingan sekian lama dengan polisi, akhirnya mereka tertangkap juga. Suandi, Reza, Zakir, Made Ali, dan Mahfud ditangkap Kepolisian Sektor Kota (Polsekta) Makassar akibat dilaporkan oleh calon pemberi barang curiannya.

Saat ini kelima pencuri itu mendekam di sel Polsekta Makassar Timur untuk menjalani pemeriksaan polisi. Mereka terancam hukuman lima tahun penjara berdasarkan Pasal 363 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Mereka ditangkap di dua tempat, yaitu di Jl Maccini Raya dan di Jl Katangka, Makassar, Jumat (10/10) siang. Dari rumah tersangka di Jl Katangka, polisi mengamankan duasepeda motor, Yamaha Jupiter MX DD 2422 BJ dan satu unit lainnya sudah "disate" alias dipreteli.

Kapolsekta Makassar, AKP Suaeb Majid, menerangkan, penangkapan tersangka berawal saat Mahfud dan Reza mendatangi Rusdi, pedagang onderdil kendaraan bermotor di Jl Maccini Raya, usai salat Jumat, kemarin.

Kedua tersangka menawarkan hendak menjual sepeda motor Jupiter kepada Rusdi dengan harga hanya Rp 2 juta untuk satu unit. Namun Rusdi bukannya suka cita tawaran super murah itu melainkan melaporkan keduanya ke Polsekta Makassar.

Dari laporan itulah, Suaeb bersama beberapa anak buahnya dibantu personel dari Unit Khusus Polresta Makassar Timur langsung mendatangani lokasi penjualan Rusdi. Kedua tersangka itu pun ditangkap tanpa bisa berkelit.

Di kantor polisi, kedua pencuri ini dicecar. Tanpa daya, keduanya membeberkan keberadaan tiga rekan mereka yang ikut juga dalam pencurian. Ketiganya dibekuk di sebuah rumah di Jl Katangka. Dengan tertangkapnya lima orang ini, satu komplotan pencuri sepeda motor berhasil digulung.

"Di rumah inilah polisi mendapatkan satu unit motor Yamaha Jupiter yang diakui tersangka hasil curian. Satu unit motor lainnya sudah dipreteli. Sehingga tak utuh lagi," ujar Suaeb kepada wartawan.(jum)

Baca selanjutnya..

Kriiing, Warga Kelapa Tiga Nyaris Tertipu

Makassar - Haeri Nawi, warga Jl Kelapa Tiga, Balaparang, Rappocini, nyaris menjadi korban penipuan. Ia ditelepon seseorang yang mengabarkan anaknya, Anjas, terbaring di rumah sakit akibat kecelakaan. Si penelepon memintanya mengirimkan uang Rp 7 juta.


Putri Haeri, Susnihara, Selasa (7/10), bercerita, Haeri yang panik lantaran si penelepon mengatakan kondisi Anjas sangat parah sudah bersiap mengirimkan uang. Ia bahkan sudah meminta nomor rekening si penelepon.

"Orang itu (si penelepon) bilang, Anjas dirawat di RS Stella Maris. kondisinya parah. Kepalanya retak, kakinya patah. Katanya harus segera dioperasi kalau nyawanya mau tertolong. Bapak panik. Apalagi Anjas memang tidak pulang dari pagi. Hape-nya juga tidak aktif," kata Susni.

Beruntung Haeri mengubah pikiran untuk memberikan uang itu di rumah sakit saja. Ia pun meluncur ke RS Stell Maris. Di tengah jalan, ia mencoba lagi menelepon Anjas. Beruntung kali ini telepon genggamnya aktif.

Ternyata Anjas sama sekali tidak sedang di rumah sakit. Ia mengatakan kepada ayahnya, sejak siang ia berada di rumah temannya dan dalam kondisi baik-baik saja. Haeri dan beberapa putranya yang semula hendak ke RS Wahidin langsung berputar pulang ke rumah.

Saat menelepon Haeri, si penipu sempat memberikan nomor rekening. Yaitu satu rekening Bank Central Asia (BCA) dengan nomor 4731049879 dan satu rekening Bank Negara Indonesia (BNI) dengan nomor 0147859806.

Saat menelepon Haeri, si penipu menggunakan kartu selular simPATI bernomor 081213802557. Si penelepon bersuara perempuan. Meskipun menggunakan nomor kartu simPATI Jakarta. Namun terdengar dari logatnya ia adalah orang Sulawesi Selatan.(jid)

Baca selanjutnya..