Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Selasa, 29 September 2009

Makassar dalam Sergapan Kaum Merkantilis

SULTAN Alauddin, Raja Gowa XIV, murka ketika menerima utusan VOC dari Maluku. Utusan itu mengatakan, pelaut-pelaut Makassar tidak boleh lagi berlayar ke Maluku dan memperdagangkan rempah-rempah dari sana. Utusan itu juga melarang pedagang asing ke pulau rempah-rempah itu. Jawaban Sultan Alauddin tegas "Tuhan telah membagi bumi di antara manusia dan menciptakan lautan untuk semua manusia. Jika Anda melakukan itu (monopoli), Anda merebut makanan dari mulut kami," katanya.

Sultan sadar, jawabannya akan menciptakan perang. Setelah utusan itu pergi, ia memerintahkan pembangunan benteng di sepanjang pesisir Makassar.

Masa VOC
Orang-orang Belanda masuk nusantara tahun 1596 di bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Pertama kali mereka mendarat di Banten dan mendirikan VOC enam tahun kemudian. Perserikatan dagang Belanda itu masuk Sulawesi tahun 1607. Awalnya para pelaut VOC berperilaku sama dengan pelaut-pelaut yang lain. Sultan Gowa pun tidak membedakan mereka.

Peristiwa kemarahan Sultan Alauddin itu terjadi pada tahun 1615. VOC memaksakan hak monopoli perdagangan hasil bumi nusantara. Tapi Sultan Gowa itu menolaknya. Sepanjang periode 1615 hingga 1655 adalah masa penuh ketegangan. Pelabuhan Makassar selalu dibayang-bayangi peperangan. Namun Sultan Gowa berusaha membuat para pedagang yang merapat di sana merasa tenang. Hingga tahun 1625, benteng-benteng sudah terbangun. Aktivitas perdagangan dilakukan di balik tembok.

Sultan Gowa juga menyediakan khusus armada pengawalan bagi kapal-kapal yang bertolak dari Makassar mengarungi Laut Banda hingga Maluku. VOC memang mengancam akan menyerang bukan hanya pelaut Makassar melainkan juga pelaut-pelaut asing yang nekat memasuki perairan Maluku. Poelinggomang tidak menceritakan seberapa sering terjadi perang laut sepanjang periode ketegangan itu.

Perang Makassar berkecamuk antara tahun 1655 sampai 1669. Saat itu Kerajaan Gowa dipimpin I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangappe yang bergelar Sultan Hasanuddin. Memasuki pertengahan tahun 1669, pasukan Gowa terdesak dan melawan habis-habisan dari dalam Benteng Somba Opu. Namun pengepungan dan isolasi total terhadap benteng itu akhirnya membuat pasukan Gowa lemah.

18 November 1667, karena ribuan rakyatnya terancam mati di dalam benteng, Sultan Hasanuddin terpaksa menerima opsi menyerah dengan menandatangani sebuah perjanjian di Bungaya, yaitu sebuah daerah di sebelah utara benteng. Karena itu disebut Perjanjian Bungaya. Seluruh isi perjanjian yang sepenuhnya didiktekan oleh Cornelis Janszoon Speelman itu hanya menegaskan hak monopoli VOC.

Perjanjian Bungaya antara lain menegaskan, hanya Kompeni (VOC) yang boleh bebas berdagang di Makassar. Orang India atau Moor (Muslim India), Jawa, Melayu, Aceh, atau Siam tidak boleh memasarkan kain dan barang barang dari Tiongkok. Semua yang melanggar akan dihukum dan barangnya akan disita. Kompeni harus dibebaskan dari bea dan pajak impor maupun ekspor. Pemerintah dan rakyat Makassar tidak boleh berlayar ke mana pun kecuali Bali, pantai Jawa, Batavia, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan Kalimantan. Itu pun harus meminta surat ijin dari komandan Belanda. Mereka yang berlayar tanpa surat ijin dianggap musuh.

Akibatnya, kantor-kantor perwakilan dagang negeri-negeri asing dibubarkan. Warga asing yang menetap diusir keluar dari Makassar. Kota ini segera mengalami degradasi dalam perdagangan, politik, kebudayaan, dan kebebasan beragama.

Speelman memperkecil wilayah Makassar tanpa batas perairan sehingga sulit bangkit lagi. Kawasan pesisir dibuat sebagai kota baru yang diduduki sepenuhnya oleh orang-orang Belanda. Kemudian benteng Ujungpandang diganti namanya menjadi Fort Rotterdam. Pelabuhan Makassar dikuasai secara eksklusif oleh kompeni dalam monopoli perdagangan rempah Maluku. Makassar menjadi kota pelabuhan yang tertutup.

Namun, Perjanjian Bungaya sebenarnya tidak serta merta membuat orang Makassar tunduk. Sultan Hasanuddin tetap bersikeras menjadikan Makassar sebagai pelabuhan bebas. Antara tahun 1668-1669 Sultan Hasanuddin melawan dengan sengit dan kembali kalah. Untuk menegaskan Perjanjian Bungaya, VOC kembali memaksakan penandatanganan perjanjian di Binanga tahun 1669.

Hindia Belanda
Menurut Poelinggomang, praktek perdagangan VOC ini didasarkan pada paham merkantilisme. Kerajaan Belanda menganut paham ini hingga tahun 1824 saat ditandatanginya Traktat London. Merkantilisme memandang kekayaan negara adalah harta dan uang (logam mulia). Bahwa kekayaan itu bersifat tetap sehingga keberhasilan menumpuk kekayaan bagi suatu negara adalah kerugian bagi negara lain. Implikasi dari penerapan paham ini adalah monopoli.

Sementara Inggris, rival Belanda di Asia Tenggara, mempraktekkan perdagangan bebas yang oleh Adam Smith (1723-1790) disebut sebagai liberalisme. Kelak dalam era advanced capitalism perdagangan bebas disepakati menjadi syarat penting bagi globalisasi. Kebalikan dari merkantilisme, liberalisme memandang kekayaan adalah produksi, kesanggupan menemui kebutuhan hidup, kesenangan, dan kemudahan hidup.

Uang bukanlah inti dari kekayaan karena hanya berfungsi sebagai alat tukar. Liberalisme menganggap kekayaan adalah sesuatu yang berkembang. Implikasi penerapannya adalah hasrat untuk mengambangkan pasar seluas mungkin dengan perdagangan bebas. Tidak ada yang mengatur persaingan kecuali invisible hand, yaitu mekanisme pasar itu sendiri.

VOC berkuasa di nusantara hingga tahun 1799. Setelah VOC bangkrut karena korupsi, Belanda melakukan konsolidasi kewilayahan dan membentuk negara Hindia Belanda. Pusat kekuasaan diletakkan di Batavia. Namun kekuasaan pemerintahan baru ini hanya bertahan delapan tahun. Akibat agresi Napoleon Bonaparte (Perancis) di Eropa, negeri Belanda kocar-kacir. Inggris mengambil alih kekuasaan di nusantara sepanjang tahun 1811-1816.

Napoleon kalah pada tahun 1813. Setelah itu lahir Konvensi Inggris yang menyatakan Inggris bersedia mengembalikan kekuasaan atas nusantara kepada Kerajaan Belanda asalkan mau melaksanakan perdagangan bebas di Hindia Belanda. Sayangnya Napoleon kembali dari pembuangan dan Eropa gunjang-ganjing lagi. Pelaksanaan konvensi itu pun terkatung-katung. Baru pada tahun 1824, Inggris mendesakkan Traktat London untuk mempertegas Konvensi London.

Di negaranya, Belanda babak belur setelah perang dengan Napoleon. Tapi harus segera menegakkan kembali kekuasaan atas nusantara. Hindia Belanda tertatih-tatih melaksanakan perdagangan bebas yang dipersyaratkan oleh Inggris. Tahun 1847, dengan terpaksa Hindia Belanda kembali menetapkan Makassar sebagai pelabuhan terbuka.

Namun sesungguhnya tidak pernah ada perdagangan bebas karena Hindia Belanda masih menerapkan pajak perdagangan yang tinggi, melarang perdagangan komoditas tertentu, menetapkan aturan pelayaran yang ketat, dan tidak menegakkan persaingan bebas dalam arti yang sesungguhnya. Hal ini dilakukan untuk melindungi Batavia dari penggerusan peran sebagai pusat ekonomi.

Sebagai ilustrasi, pemerintah Hindia Belanda menerapkan pajak empat hingga lima kali lebih tinggi di Makassar dibanding Batavia pada tahun 1824. Untuk kapal besar dari Kanton, Belanda hanya menerapkan pajak f 5.000 di Batavia, sementara di Makassar pajaknya mencapai f 20.000. Untuk kapal kecil dari Kanton dikenai pajak f 3.000 di Batavia dan f 14.000 di Makassar (Poelinggomang: 1993).

Pada tahun 1906, Hindia Belanda akhirnya kembali menjadikan Makassar sebagai pelabuhan tertutup. Tidak ada satu pun kapal dagang asing yang singgah di kota ini. Komoditas dari nusantara timur dipasarkan kembali secara eksklusif oleh armada Belanda melalui Batavia. Status Makassar sebagai pelabuhan bebas hanya bertahan selama 59 tahun. Tahun-tahun selanjutnya adalah masa suram. Kota ini tidak pernah bangkit lagi menjadi kota dunia.

Ini berbeda dengan yang dilaksanakan Inggris di Singapura. Dalam perkembangannya, Singapura bukan hanya menggerus Makassar tapi juga mengungguli Batavia. Pada tahun 1924, pulau kecil yang tadinya bernama Temasek itu telah mengambil peran besar dalam perdagangan internasional dan menjadi hub utama di Asia Tenggara, kurang lebih sama seperti yang dialami Makassar pada abad ke-17.

Indonesia Modern
Sebagian besar wilayah nusantara yang sekarang bernama Indonesia ini, menurut HW Dick, adalah sebuah wilayah ekonomi yang timpang dan tidak terintegrasi (Dick: 2002). Ibarat sebuah kapal, condong ke arah depan namun miring ke haluan sebelah kiri.

Pada tahun 1990, Jawa dan Bali memiliki proporsi yang besar dalam hal produk domestik riil bruto (PDRB) yaitu sebesar 56,3 persen dari total PDRB nasional. Sumatera di bagian paling barat memiliki proporsi 27 persen, Kalimantan 9 persen. Sementara bagian timur Indonesia sangat mengenaskan. Sulawesi hanya memiliki proporsi 4 persen, Nusa Tenggara 1 persen, Maluku 1 Persen, dan Papua 1 persen. Hingga tahun 2005 kondisi ini tidak mengalami perubahan penting. Ketimpangan ekonomi nasional ini tentu tidak dapat dilepaskan dari aspek ekonomi-politik sejarah sejak zaman Hindia Belanda.

Era kapitalisme modern di Indonesia terbentuk jauh setelah konsolidasi politik Hindia Belanda. Kemunculannya baru ditandai dengan pembentukan Nederlandsch Hendel Maatschapij (NHM), sebuah perusahaan negara semacam BUMN, pada tahun 1828. Kapitalisme modern adalah sebuah sistem ekonomi yang berbasis modal koorporasi. Karena itu negara melepaskan diri dari kontrol atas produksi dan perdagangan.

Dick menulis, NHM memainkan peranan besar dan hampir tunggal dalam produksi pertanian di Pulau Jawa pada era cultuur stelsel (tanam paksa) dan setelahnya. Karena perannya ini, NHM telah memantik transformasi sosial di Jawa dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Para petani di Jawa, yang sebagain besar sebenarnya adalah para pemilik lahan, dimobilisasi menjadi tenaga upahan dalam perkebunan tebu, karet, dan kopra, untuk memenuhi kebutuhan pasar internasional. Mobilisasi yang hampir intensif juga terjadi di Sumatera.

Di luar kedua pulau ini, NHM tidak memiliki perhatian yang besar selain sekadar untuk berdagang. Di Sulawesi, NHM mengalami kesulitan dalam mendapatkan tenaga kerja berlimpah dan murah sebagaimana di Jawa dan Sumatera. Akibatnya, di tengah iklim monopoli yang dilakukan NHM, Makassar sangat sedikit mengalami transformasi industrial sebagaimana di kota-kota di Jawa. Kecuali sebagian kecil masyarakat Takalar yang mengalami transformasi karena industri gula yang berdiri awal tahun 1900-an.

Sebenarnya hingga tahun 1913, sudah ada 2.686 perusahaan swasta selaian NHM. Namun tidak ada satu pun koorporasi yang bisa melakukan hal yang sama di luar Jawa dan Sumatera. Selain karena kebijakan pajak yang mencekik, perusahaan-perusahaan itu lebih tertarik masuk di Jawa karena tenaga kerja yang melimpah dan murah.

Pada awal 1900, Jawa telah menjadi kantong industri paling modern di Hindia Belanda di mana jaringan telegraf terhubung melalui Singapura. Juga jaringan jalan dan kereta api yang menghubungkan kota-kota dengan wilayah perkebunan. Sementara, menurut Dick, sebagian besar pulau di luar Jawa seperti mengapung saja dengan kekosongan ekonomi. Kondisi seperti ini berlangsung terus hingga Indonesia merdeka.

Pemerintah RI setelah merdeka lalu mewarisi ekonomi nasional yang tidak terintegrasi. Komposisi potensi yang terbangun semasa era kolonial tetap sulit diubah. Upaya Pemerintah RI untuk menyeimbangkan pendulum ekonomi selalu tidak membuahkan hasil besar. Sebagian sebab kegagalan itu disinyalir juga karena berbagai pemberontakan tahun 1950-an seperti PRRI/Permesta dan DI/TII.

Era tahun 1990-an, muncul kritik atas pemerintahan yang Jakarta sentris. Awal tahun 2000, otonomi daerah dijalankan dengan harapan daerah-daerah lebih bebas dalam berkreasi membentuk kemajuannya sendiri. Bagi Makassar sejauh ini belum membuahkan hasil besar dan belum bisa membuka lagi jalur pelayaran internasional. Perdagangan masih lebih banyak terjadi antara Jawa dan luar Jawa ketimbang luar Jawa dan luar Jawa. Apalagi antara Makassar dan puncak-puncak pasar dunia.(*)
Baca selanjutnya..

Jumat, 25 September 2009

Makassar Abad 16-17: Dari Feodalisme ke Kapitalisme Awal

SETIAP puncak musim angin muson barat laut atau tenggara, tidak kurang dari 600 kapal dengan tiang layar yang tinggi menjulang berlabuh di Bandar Makassar. Ribuan orang terlibat dalam kesibukan bongkar muat beras, kopra, cendana, dan rempah-rempah yang sangat diminati pasar dunia. Begitu penuhnya, kapal-kapal sampai harus antre. Sementara ratusan kapal bersandar, ratusan lainnya membuang sauh di laut menunggu giliran untuk merapat.

Itulah suasana Bandar Makassar yang digambarkan Anthony Reid (Reid: 1987). Makassar pernah menjadi kota penting di dunia pada awal abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-17. Ia menjadi kota bandar teramai di Asia Tenggara dan menjadi pusat pasar rempah-rempah. Pengaruh ekonominya menjulur dari kepulauan Jepang hingga daratan Australia, dari Tanjung Harapan hingga Papua New Guinea.

Kemunculan Makassar

Menurut Poelinggomang, kemunculan Makassar sebagai bandar besar baru dimulai setelah Raja Gowa IX, Karaeng Tumaparissi Kalona (1510-1546), membuat kota raja di Benteng Somba Opu. Namun nama Makassar sesungguhnya telah dikenal sejak abad ke-13. Makassar sebagai entitas kebudayaan selalu dikaitkan dengan awalan seperti kepulauan Makassar, kerajaan Makassar, dan orang Makassar (Poelinggomang: 1993).

Pada abad ke-14 hingga abad ke-15, jaringan perdagangan nusantara berada dalam kontrol Tuban di Jawa bagian timur. Secara politik daerah ini berada dalam kekuasaan Majapahit yang berpusat di Trowulan. Saat itu Makassar telah masuk dalam peta pelayaran ekspedisi Palapa di bawah pimpinan Gajah Mada (1331-1364). Nama Makassar disebut dalam kitab Negara Kertagama karya Prapanca.

Gowa dan ratusan kerajaan lain di nusantara baru lepas dari Majapahit tahun 1478 setelah kerajaan besar ini runtuh akibat perang saudara. Saat itu, ada beberapa wilayah berdiri sebagai sebuah kerajaan baru yang secara efektif menggerogoti wilayah kekuasaan Majapahit, seperti Demak dan Banten. Kelak, dua kerajaan ini juga memiliki bandar besar yang berpengaruh dalam perdagangan di nusantara.

Gowa periode tahun 1320-1525 adalah sebuah negeri agraris, bukan perdagangan. Sebelum tahun 1525, ibukota kerajaan ini terletatak di Tamalate, daerah pedalaman sebelah selatan Makassar. Ibu kota ini dipertahankan hingga akhir kekuasaan Raja Gowa VIII, I Pakere Tau Tunijallo Ri Pasukki (1460-1510). Pada masa kekuasaan Tumaparissi Kalona, ibu kota kerajaan dipindahkan ke Somba Opu dan orientasi kerajaan berubah dari agraris menjadi perdagangan. Gowa mengalami transformasi dari ekonomi subsisten feodal menjadi early capitalism.

Bandar Makassar merupakan gabungan dari dua bandar milik Kerajaan Tallo dan Gowa. Kedua kerajaan ini membentuk satu pemerintahan dan memperluas kekuasaan di wilayah Sulawesi Selatan. Raja Gowa memangku jabatan sebagai raja, sedangkan Raja Tallo sebagai Mangkubumi. Dalam perkembangannya, dua kerajaan ini tidak menunjukkan batas yang jelas dan seperti melebur satu sama lain.

Persoalan kota dunia adalah persoalan menegakkan supremasi dagang. Kebijakan politik periode awal Tumaparissi Kalona adalah melemahkan bandar lain agar Makassar berkembang. Kerajaan-kerajaan kecil seperti Garassi, Katingang, Parigi, Lembangang, Bulukumba, dan Selayar ditaklukkan. Sementara terhadap sekutu Kerajaan Tallo seperti Marusu, Polombangkeng, Salumeko, Bone, dan Luwu, dijalin persahabatan.

Ketika Raja Gowa X, Karaeng Lakiung Tunipalangga Ulaweng (1546-1565), berkuasa, penaklukkan diteruskan terhadap Kerajaan Siang, Bacukiki, Suppa, Sidenreng,, Bajeng, Lengkese, Polombangkeng, Lamuru, Soppeng, Lamati, Wajo, Duri, dan Panaikang. Khusus Kerajaan Siang, sebelumnya adalah sebuah bandar besar yang menjadi hub perdagangan asing. Pusat kerajaan ini sekarang adalah Kabupaten Pangkep yang terletak 50 kilometer sebelah utara Makassar.

Sistem ketatanegaraan juga mulai berkembang pada masa Tunipalangga. Penduduk negeri taklukkan dibawa ke daerah antara Tallo dan Somba Opu. Terjadilah transfer pengetahuan dan teknologi. Tunipalangga menciptakan jabatan baru tumakkajanangngang atau pemimpin urusan perang, menciptakan organisasi kerja pandai besi, pandai emas, pembangunan rumah, perahu, senjata, gurinda, larik, sarta memisahkan jabatan ilalang (patih) dan sahbanara (syahbandar).

Teknologi batu bata juga mulai dikenal. Raja Tunipalangga mengganti dinding Benteng Somba Opu dari tanah liat menjadi batu bata. Saat itulah Somba Opu disebut sebagai benteng terkuat yang pernah dibangun di nusantara.

Setelah periode penaklukkan itu, koloni dagang bangsa-bangsa asing pindah ke Makassar, termasuk mereka yang sebelumnya memiliki koloni di Kerajaan Siang. Selain Melayu dan Jawa, pedagang Portugis juga mengikatkan hubungan dagang dengan Makassar dan mendirikan perwakilan dagang di kota ini. Nama Makassar terkenal ke seantero dunia dan menarik ribuan orang untuk datang.

Kejayaan Makassar
Anthony Reid berpendapat, Makassar dan daerah pedalamannya sesungguhnya hanya menghasilkan bahan pangan murah seperti beras, ikan, dan ternak. Sementara komoditas yang paling dicari oleh pedagang dunia, yaitu rempah-rempah, kopra, dan kayu cendana, dimiliki oleh Maluku dan Nusa Tenggara. Namun mengapa Makassar bisa menjadi kota dagang utama?

Penguasa Gowa dan Tallo paham betul akan letak strategis Kota Makassar. Kota ini persis terletak di bagian tengah nusantara. Menghadap ke arah sebuah selat yang menjadi koridor bagian tengah nusantara. Menghubungkan wilayah Asia Selatan dan Australia. Sementara Laut Jawa hingga Laut Banda adalah koridor tengah yang mengubungkan negeri-negeri di Timur Tengah dan Asia Selatan dengan negeri-negeri di Pasifik. Makassar adalah titik pertemuan dua jalur pelayaran itu.

Muara dari identifikasi letak geografis dan sumber daya adalah pelaksanaan open door policy dengan prinsip mare liberium atau laut bebas. Kebijakan inilah yang berhasil mengembangkan Bandar Makassar menjadi bandar utama di Asia Tenggara. Menjadi hub yang sukses mengeksplorasi kekayaan bagian timur nusantara. Para pelaut dan pedagang asing, termasuk Melayu, berdatangan memohon izin menetap dan berniaga.

Setiap datang angin muson barat laut, pedagang Eropa, Gujarat, India Selatan, Malaka, Riau, Johor, dan Jawa datang ke Makassar untuk seterusnya berlayar ke Maluku. Mereka kembali pada angin muson timur laut. Pedagang Cina, Spanyol, Filipina, dan Jepang datang saat angin muson utara. Mereka berlabuh di Makassar untuk selanjutnya berlayar ke maluku atau Nusa Tengggara. Sementara pedagang Sulawesi memanfaatkan kedua angin muson itu untuk berlayar ke Laut Flores, Pulau Sumbawa, hingga Australia.

Pada masim singgah mengikuti muson, Makassar didatangi sedikitnya 600 kapal. Empat kali dalam setahun persinggahan itu terulang. Pelaut Makassar juga ikut berdagang. Terkadang mereka membeli rempah dari Maluku dengan harga murah dan menjualnya kepada pedagang asing di Makassar. Atau pedagang-pedagang dari Maluku dan Nusa Tenggara yang sengaja menjual hasil bumi mereka di Makassar.

Perkembangan Makassar juga dipengaruhi oleh situasi politik saat itu. Tahun 1511, Malaka diduduki Portugis. Pedagang Melayu mencari koloni dagang baru, termasuk ke Makassar. Ketika VOC mulai menjamah Jawa awal abad ke-17, pedagang-pedagang yang semula menjadikan pelabuhan-pelabuhan di Jawa sebagai hub pindah ke Makassar yang dinilai lebih terbuka.

Pendudukan Malaka oleh Portugis adalah tantangan sekaligus peluang dagang bagi Makassar. Tantangannya, era kolonialisme telah dimulai. Tapi peluangnya, jalur perdagangan ke Eropa semakin pendek dengan perubahan peran Malaka sebagai pelabuhan mandiri menjadi transito ke Eropa. Tahun 1559, Makassar menjalin hubungan dagang Portugis di Malaka dan mengekspor beras dan rempah-rempah melalui kota itu.

Akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-17, Makassar telah menjadi kota utama bagi pedagang Spanyol, Cina, Denmark, Inggris, dan sebagainya. Untuk lebih memikat, penguasa Makassar memperbolehkan pedagang asing mendirikan perwakilan dagang. Jika sebelumnya hanya Portugis, maka tahun 1607 VOC diperbolehkan membangun perwakilan dagangnya. Berturut-turut Inggris pada tahun 1613, Spanyol tahun 1615, Denmark tahun 1618, dan China tahun 1618 China.

Begitu pula sebaliknya. Tahun 1607, Tallo diizinkan memiliki wakil dagang di Banda, lalu di Filipina atas izin Spanyol dan Makao atas izin Portugis. Pedagang Makassar menyediakan beras ke Banda dan membuat senang penguasa di sana untuk dapat banyak mengumpulkan pala. Pala dijual ke pedagang asing. Cara ini membuat pedagang Makassar memperoleh rempah dengan harga yang murah.

Pada periode ini Makassar juga mencapai tingkat kebebasan beragama. Islam masuk melalui pedagang dari Sumatera dan Melayu. Masjid pertama di Sulawesi Selatan bernama Al-Hilal didirikan pada tahun 1603 di daerah Katangka. Lalu pada tahun 1658, pastor pertama berkebangsaan Portugis, Fernendez Navarette, masuk ke Makassar dan mendapat keleluasaan menjalankan tugasnya. Para pedagang China yang menetap di Makassar juga diperbolehkan mendirikan enclave yang sekarang disebut Pecinan.

Periode kebangkitan dagang Makassar juga diikuti dengan kebangkitan ilmu pengetahuan. Karaeng Pattingaloang, Raja Tallo VIII, berhasil membuat sebuah perpustakaan yang sangat besar. Ia mengumpulkan ribuan buku dari seluruh penjuru dunia. Pada periode ini Makassar menjadi tempat persemaian ilmu pengetahuan. Atas jasa Karaeng Pattingaloang pula, para pelaut Makassar dapat menjalin hubungan dengan bangsa-bangsa lain.

Dengan berbagai kemajuan yang dicapai, Makassar menjadi kota tersibuk dan memiliki pengaruh yang besar dalam bidang ekonomi, paling tidak untuk wilayah Asia Tenggara dan Asia Timur. Akibat lain dari status sebagai bandar utama adalah menjadi kota dengan pertukaran informasi paling kencang dan memiliki tingkat kebebasan beragama yang sangat baik.

William Cummings menyatakan, pada abad ke-16, Makassar telah mengalami transformasi penting dalam bidang kesusastraan. Yaitu perubahan masyarakat bertradisi lisan menjadi tradisi tulisan. Masyarakat Makassar telah mampu menciptakan berbagai literatur yang mencakup pemahaman mereka terhadap dunia (Cummings: 2002). Literatur ini menjadi media hegemoni intelektual efektif terhadap masyarakat di wilayah lain di nusantara. Dengan demikian, Makassar saat itu telah menjadi trendsetter kebudayaan.(*)

Next: Makassar dalam Sergapan Kaum Merkantilis
Baca selanjutnya..

Kamis, 16 Oktober 2008

Jangan Bingung, Orang Bilang Makang Ikang (3)

DI sebuah rumah di Jl Batua Raya, Makassar, ada spanduk bertuliskan "Menerima Rias Penganting." Di Jl Alauddin ada juga papan di pinggir jalan bertuliskan "Pres Bang Dalam." Begitulah bahasa Melayu mengalami adaptasi dalam pengucapan. Orang Makassar menyebutnya okkod.

Jejak penyebaran bahasa Melayu kental di Sulawesi Selatan. Setidaknya dapat dilihat dari cara pengucapan orang Bugis dan Makassar. Bahasa Melayu membentuk kembali sesuai dengan ranah tempatnya tertanam. Ada Melayu Bugis, Melayu Makassar, Melayu Mandar, dan Melayu Toraja, ada juga Melayu Kendari.

Pakar linguistik dari Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, Sadra Safitri, menjelaskan, dialek Melayu Bugis dan Makassar memiliki ciri-ciri varian yang menunjukkan banyak perbedaan dengan dialek Melayu di Indonesia timur.

Sadra merupakan salah satu pembicara dalam Seminar Internasional Kemelayuan di Indonesia Timur di gedung IPTEKS Unhas, Tamalanrea, Makassar, Minggu (12/10). Seminar ini digelar Pusat Studi Melayu Unhas dalam rangkaian Dies Natalis Universitas Hasanuddin (Unhas) yang ke-52.

Menurut Sadra, selain itu terdapat perubahan fonetik, seperti adanya konsonan panjang, perbedaan kosakata, dan jumlah partikel yang sering digunakan untuk menunjukkan emosi dan tanggapan penutur.

Bahasa Melayu memang terbuka dalam penggunaan partikel-partikel tertentu. Di Sulawesi, partikel itu umumnya berfungsi sebagai penegas. Seperti partikel ji, mi, pi, mo, ma', di', tonji, tawwa, pale.

Dosen Sastra Indonesia Unhas, Dr Nurhayati M Hum, juga berpendapat serupa. Partikel-partikel ini muncul saat penutur daerah menggunakan bahasa Melayu. Partikel-partikel ini melekat dan menjadi ciri sesuai dengan bahasa daerahnya.

Orang Bugis dan Makassar menggunakan partikel mi, moko, dan ji. Sedangkan orang Mandar banyak menggunkan partikel O. Sementara orang Toraja menggunakan parteikel le'. Namun partikel ini masih mempunyai variasi. Tergantung siapa penutur dan orang yang diajaknya bertutur.

Untuk dialek Melayu Bugis dan Makassar misalnya, mereka biasanya menggunakan struktur susunan kalimat yang berurutan verbal, subjek, dan objek (VSO). Sedangkan dialek-dialek lain di Indonesia timur mempelihatkan urutan SVO.

Misalnya dalam kalimat, "Saya makan ikan". Untuk Melayu Makassar bunyinya menjadi, "Makan-ka ikang". Dengan sedikit perubahan, orang Bugis mengatakan, "Makang-a ikang." Sedangkan untuk Melayu-Ambon, "Beta makan ikang".

Dialek Melayu Bugis Makassar adalah bahasa aglutinatif, yaitu unsur-unsur verbal nominal dan partikel dipadukan disambung menjadi dua kata yang panjang, dan kata itu tidak dapat dipisahkan, serta kadang-kadang tidak dapat disisipkan.

Unsur-unsur yang disatukan itu mengalami perubahan fonetik yang mengikat semua unsur kata. Misalnya dalam kalimat, "Makammaki (silakan Anda makan)", yaitu dengan perubahan bunyi "makang" menjadi "makam" karena dicantumkan ke partikel ma'.

Maka, jangan bingung dengan cara pengucapan orang Bugis da Makassar. Pahami maksud ucapan dengan memisahkan kata asli dan partikelnya. Ayo mi, ambil mi, jangan mi, tidak ji, itu mo, mau ka', dan lain sebagainya. Jangan bingung juga dengan kata makang, ikang, dan lain sebagainya.(suryana anas/furqon majid)
Baca selanjutnya..

Hikayat Tanah Hitu, Jejak Melayu Bugis di Maluku (2)

TAHAP kedua penyebaran bahasa Melayu ke arah timur Indonesia terjadi saat migrasi secara besar-besaran ke Papua. Bermula sejak penyerahan Irian Jaya (nama Papua saat itu) dari Kerajaan Belanda kepada Pemerintah RI. Pemerintah saat itu menggalakkan program transmigrasi.

Migrasi orang Bugis membawa identitas hidup pallaonruma (petani), pakkaja (nelayan), dan passompe (pelaut pedagang). Passompe ini kebayakan menjadi saudagar yang berusaha di bidang ekspor dan impor. Mereka berdagang antarpulau ke pulau satu musim.

Apabila datang musim timo (kemarau), mereka berlayar ke arah barat dan jika sudah datang musim bare' (hujan) mereka pulang ke kampungnya.

Mereka berlayar dari perairan Sulawesi sampai Laut Arafura. Motivasi masyarakat Bugis ke Papua adalah mencari sumber penghidupan. Alasan ini menjadi lebih kuat setelah Indonesia mengalami kemerosotan ekonomi tahun 1963 atau saat pemerintahan Presiden Soekarno.

Mereka memanfaatkan nilai tukar uang setelah Indonesia mengalami inflasi pada tahun 1962 dan 1968. Nilai mata uang rupiah di Papua saat itu relatif tinggi dibandingkan dengan provinsi lain di luar Papua.

Orang Bugis di Papua ini mengalami perkembangan pesat, mereka kemudian menetap dan membentuk komunitas. Dalam kehidupan sehari-hari mereka menggunakan dua bahasa (bilingual), yaitu bahasa Bugis untuk sesama orang Bugis, dan bahasa Melayu kepada masyarakat pribumi.

Meskipun banyak pedagang dari pulau lain ke Papua, namun komunitas Bugis lah yang banyak menetap di Papua. Akibatnya bahasa Melayu melekat dan berasimilasi dengan bahasa Papua, yang dikenal dengan bahasa Melayu-Papua.

Kini jejak-jejak bahasa Melayu dapat dilihat di sepanjang rute migrasi, di Pulau Sulawesi dan Maluku. Misalnya saja adanya dialek Melayu yang dituturkan oleh masyarakat Maluku tengah melaui teks buku keagamaan baik itu agama Islam maupun Kristen.

Selain itu terdapat juga manuskrip yang ditulis pada abad ke-17 dalam bahasa Melayu, di antaranya, Hikayat Tanah Hitu, Hikayat Nabi Musa, dan Hikayat Nabi Yusuf. Karya-karya ini tersohor di seantero nusantara pada waktu itu.

Di masa ini lahir sastrawan-sastrawan Melayu dari Makassar dan Ambon, seperti Encik Amin pencipta naskah Syair Perang Mangkasara dan Imam Rijali. Temuan ini menunjukkan, masyarakat Makassar dan Ambon sudah menggunakan bahasa Melayu sejak abad ke-17.(suryana anas/furqon majid)
Baca selanjutnya..

Senin, 13 Oktober 2008

Orang Bugis, Berlayar Menebar Bahasa Melayu (1)

ORANG Bugis mulai melakukan migrasi besar-besaran gelombang pertama pada tahun 1667. Di perantauan mereka berbicara dengan bahasa Melayu. 261 tahun setelah peristiwa besar itu, bahasa Melayu diadaptasi menjadi Bahasa Indonesia dan menjadi unsur terpenting nasionalisme Indonesia.

Tulisan ini memuat intisari penelitian dua pakar linguistik, James T Collins dari Center for Southeast Asian Studies, Northern Illinois University, Australia, dan Sukardi Gau dari Balai Bahasa Jayapura dan Institut Alam dan Tamadun, Universiti Kebangsaan Malaysia.

Keduanya diundang untuk memaparkan hasil-hasil penelitian tentang persebaran bahasa Melayu di Indonesia bagian timur dalam Seminar Internasional Kemelayuan di Indonesia Timur, di Gedung IPTEKS Unhas, Tamalanrea, Makassar, Minggu (12/10).

Kajian mengenai keberadaan bahasa Melayu di Indonesia timur terabaikan. Banyak pengkaji sejarah bahasa melihat produk kebudayaan Melayu itu tidak memiliki jejak sedikit pun di Indonesia timur, termasuk Sulawesi. Melayu dianggap hanya berakar di Sumatera dan semenajung Malaka.

"Nnusantara timur (demikian sebutan Collins untuk Indonesia timur), sudah lama terkait dengan sistem perdagangan global. Pedagang dari wilayah ini memasok bahan rempah-rempah di pasaran dunia terutama di Cina, India dan eropa," kata Collins.

Dalam proses perdagangan inilah bahasa Melayu digunakan untuk berkomunikasi. Bahasa Melayu di Indonesia timur ini kemungkianan berasal dari wilayah Kalimantan yang digunakan sebagai wahana dalam konteks keberagaman dan perdagangan internasional.

Menurut Collins, titik permulaan penggunaan bahasa Melayu di Indonesia timur ini belum dapat dipastikan waktunya. Tetapi sejak kapal asing masuk di nusantara sekitar abad ke-16, masyarakat nusantara timur sudah bertutur dalam bahasa Melayu.

Senada dengan Collins, Sukardi juga tidak dapat menandai titik awal penggunaan bahasa Melayu di Indonesia timur. Yang ia kaji adalah adaperan besar orang Bugis (juga Makassar) dalam penyebarannya. Titik awalnya adalah migrasi pascapergolakan politik tahun 1667.

"Pergolakan itu adalah peperangan antara Kerjaan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin dengan Belanda. Peperangan ini berakhir dengan kekalahan Gowa yang ditandai dengan Perjanjian Bungaya, 18 November 1667," katanya.

Perjanjian itu ditulis dalam dua bahasa. Bahasa Belanda untuk para pejabat dan opsir Belanda dan bahasa Melayu untuk Sultan Hasanuddin dan pasukannya. Ini membuktikan bahasa Melayu telah menjadi bahasa di Sulawesi bagian Selatan saat itu.

Orang Bugis yang memilih pergi merantau saat itu memilih bekerja sebagai pedagang serta menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa sehari-hari.(suryana anas/furqon majid)

Tulisan ini juga diterbitkan di www.tribun-timur.com
Baca selanjutnya..

Minggu, 12 Oktober 2008

Ada Lorong Janda di Pulau Baranglompo

SITIARA (37) berbicara tanpa ekspresi. Duduk di sebuah kursi yang agak usang dan bertutur dengan kalimat-kalimat datar. Seakan ia tidak ingin mengenang peristiwa dua tahun silam. Sitiara tinggal di sebuah lorong yang kerap disebut warga setempat Lorong Janda.

Lorong itu terletak di Pulau Baranglompo, sekitar 12 kilometer dari pesisir Makassar. Secara administratif pulau ini terletak di Kecamatan Ujungtanah. Sebagian besar para suami di sana meninggal akibat menyelam di laut mencari teripang.

"Nama Lorong Janda itu ada sejak tujuh tahun yang lalu. Sebagian besar perempuan di sana memang ditinggal mati suaminya," ujar Lurah Baranglompo, A Musyarafa, memberitahukan keberadaan lorong tersebut di Pulau Baranglompo, Sabtu (16/6).

Memang tidak semua menjanda akibat suaminya meninggal karena menyelam. Ada juga perempuan menjadi janda setelah suaminya tidak kunjung pulang dari merantau. Mungkin kecantol perempuan lain. Namun, kasus kematian karena menyelam secara tradisional cukup dominan di sana.

Terdapat sekitar 150 keluarga di lorong sepanjang kurang lebih 300 meter tersebut. Beberapa ibu tanpa suami itu harus meneruskan hidup dengan berdagang kecil-kecilan. Ada juga anak-anak yang sudah cukup besar ikut membantu ibu mereka dengan melaut.

Sittiara menuturkan, suaminya, Nurdin Ba'be, meninggal dua tahun lalu setelah menyelam pada kedalaman 20 meter selama lebih dari satu jam di perairan Kalimantan Timur. Dua hari setelah menyelam sekujur tubuhnya lumpuh sebelum akhirnya meninggal dunia.

"Suami saya sebenarnya tahu bahwa menyelam itu berbahaya. Tapi demi penghasilan, meski berbahaya dia tetap menyelam," katanya dengan Bahasa Makassar sepotong-potong. Selain sang suami, dua anggota keluarganya juga meninggal karena menyelam.

Musyarafa mengatakan, pekerjaan menyelam sebenarnya juga dilakukan hampir oleh semua laki-laki di Pulau Baranglompo. Karena itu, jika kebiasaan menyelam secara tradisional ini berlanjut, ratusan perempuan di Baranng Lompo terancam menjadi janda.

Penyelam hanya menggunakan bantuan kompresor (pemompa udara) yang tersambung dengan selang panjang untuk bernapas. Dengan hanya bercelana pendek dan ujung selang di mulut, mereka masuk ke kedalaman laut, tanpa pelindung apa pun di bagian kepala.

Warga tergiur dengan mahalnya harga teripang. Teripang jenis koro yang banyak dicari. Binatang ini hidup di kedalaman 10 meter lebih. Harganya mencapai Rp 100 ribu per ekor. Sekali menyelam, mereka bisa membawa pulang sampai Rp 2 juta.


Kepala Dinas Kesehatan Kota Makassar, dr Naisyah TN Azikin, mengatakan, pihaknya telah berkali-kali melakukan sosialisasi tentang bahaya menyelam secara tradisional. Namun, warga beralasan hanya itu pekerjaan yang bisa mereka lakukan.

"Kematian bisa diakibatkan keracunan nitrogen yang dihembuskan oleh kompresor menyerupai alat pemompa ban kendaraan bermotor. Paru-paru penyelam rusak dan nitrogen menyebar ke seluruh tubuh, dan akhirnya merusak jaringan otak. Bisa juga karena tekanan di kedalaman," kata Naisyah.

Saat ini saja, sebanyak 22 orang warga Baranglompo terbaring karena sekujur tubuhnya lumpuh. Sementara yang meninggal tercatat sudah ratusan orang. Terakhir, kasus kematian akibat menyelam dialami Jumadil (18) sekitar 10 hari yang lalu.

Bagaimana efektifitas sosialisasi itu? Naisyah mengatakan, belum terlalu baik hasilnya. Kelumpuhan akibat kerusakan syaraf karena tekanan pada kedalaman 10-20 meter di bawah permukaan air tidak membuat warga kepulauan takut. Sampai saat ini masih banyak saja penyelam tradisional.(furqon majid)
Baca selanjutnya..

Patung Patompo dalam Ruang Kusam


MENEMPATI sebuah gedung tua bangunan Belanda yang pernah digunakan sebagai kantor DPRD Kota Makassar dekade 1970-an. Dari luar, gedung yang ukurannya lebih kecil dari rumah jabatan wali kota itu terlihat agak kusam. Dari dalam, ruang-ruangannya yang besar juga nyaris kekurangan cahaya.

Museum Kota Makassar terletak di Jl Balaikota, tepat di seberang Balaikota Makassar. Telah lama museum ini kekurangan koleksi dan nyaris tidak terurus. Pengurus museum mengatakan, alokasi anggaran yang diberikan Pemerintah Kota Makassar sangat minim. Hanya Rp 100 juta per tahun.

"Dari APBD kami hanya mendapatkan Rp 100 juta setiap tahun. Itu untuk honor 12 orang staf, delapan orang dewan kurator, dan empat orang pembina. Dari anggaran itu, kita tidak bisa menambah koleksi," ujar Kepala Museum Kota Makassar, A Irma Kusuma, di Makassar, Sabtu (18/11).

Museum kota ini digagas pertama kali oleh mantan Wali Kota Makassar, Amiruddin Maula, pada tahun 1999. Namun pengelolaannya oleh Dinas Pariwisata Kota Makassar baru pada Maret 2002. Konsep pengelolaan adalah menjadikannya sebagai salah satu pusat perhatian di Kota Makassar.

"Kami punya 13 ribu koleksi, antara lain etnografi, naskah, koleksi foto, pakaian, dan furniture. Itu pun dari pemberian pihak lain. Sangat sedikit jika berbicara koleksi ideal sebuah museum," lanjut Irma.

Terakhir pengurus mendapatkan patung Dg Patompo (Mantan Wali Kota) melalui putranya, Endong Patompo. Beberapa lagi dari PDAM dan TVRI berupa etnografi. Selebihnya, sama sekali tidak ada penambahan koleksi.

Setiap hari kerja, pintu-pintu besarnya terbuka lebar. Untuk masuk, pengunjung tak dikenai biaya sepeser pun. Namun, hanya 10-15 orang datang setiap hari. Kebanyakan orang asing dan peneliti. Kadang rombongan anak sekolah. Masyarakat umum dipastikan tidak tertarik mengunjungi gedung ini.

"Koleksinya, ruangannya, dan fasilitasnya tidak memberikan alasan kepada kami untuk memungut biaya masuk. Ke depan, saya menginginkan museum ini menjadi pusat atraksi budaya. Juga memiliki konsep entertaint. Semoga ada kepedulian pemerintah kota," kata Irma berharap.

Anggaran untuk museum memang sangat kecil. Bandingkan dengan biaya promosi wisata ke Berlin, Jerman, beberapa waktu lalu yang menghabiskan Rp 600 juta dalam waktu hanya satu minggu. Hari ini, sebuah rombongan lagi akan berangkat ke Cina untuk mempromosikan "kehebatan" Kota Makassar. Pastinya juga menghabiskan dana ratusan juta rupiah.(furqon majid)
Baca selanjutnya..