Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Selasa, 29 September 2009

Makassar dalam Sergapan Kaum Merkantilis

SULTAN Alauddin, Raja Gowa XIV, murka ketika menerima utusan VOC dari Maluku. Utusan itu mengatakan, pelaut-pelaut Makassar tidak boleh lagi berlayar ke Maluku dan memperdagangkan rempah-rempah dari sana. Utusan itu juga melarang pedagang asing ke pulau rempah-rempah itu. Jawaban Sultan Alauddin tegas "Tuhan telah membagi bumi di antara manusia dan menciptakan lautan untuk semua manusia. Jika Anda melakukan itu (monopoli), Anda merebut makanan dari mulut kami," katanya.

Sultan sadar, jawabannya akan menciptakan perang. Setelah utusan itu pergi, ia memerintahkan pembangunan benteng di sepanjang pesisir Makassar.

Masa VOC
Orang-orang Belanda masuk nusantara tahun 1596 di bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Pertama kali mereka mendarat di Banten dan mendirikan VOC enam tahun kemudian. Perserikatan dagang Belanda itu masuk Sulawesi tahun 1607. Awalnya para pelaut VOC berperilaku sama dengan pelaut-pelaut yang lain. Sultan Gowa pun tidak membedakan mereka.

Peristiwa kemarahan Sultan Alauddin itu terjadi pada tahun 1615. VOC memaksakan hak monopoli perdagangan hasil bumi nusantara. Tapi Sultan Gowa itu menolaknya. Sepanjang periode 1615 hingga 1655 adalah masa penuh ketegangan. Pelabuhan Makassar selalu dibayang-bayangi peperangan. Namun Sultan Gowa berusaha membuat para pedagang yang merapat di sana merasa tenang. Hingga tahun 1625, benteng-benteng sudah terbangun. Aktivitas perdagangan dilakukan di balik tembok.

Sultan Gowa juga menyediakan khusus armada pengawalan bagi kapal-kapal yang bertolak dari Makassar mengarungi Laut Banda hingga Maluku. VOC memang mengancam akan menyerang bukan hanya pelaut Makassar melainkan juga pelaut-pelaut asing yang nekat memasuki perairan Maluku. Poelinggomang tidak menceritakan seberapa sering terjadi perang laut sepanjang periode ketegangan itu.

Perang Makassar berkecamuk antara tahun 1655 sampai 1669. Saat itu Kerajaan Gowa dipimpin I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangappe yang bergelar Sultan Hasanuddin. Memasuki pertengahan tahun 1669, pasukan Gowa terdesak dan melawan habis-habisan dari dalam Benteng Somba Opu. Namun pengepungan dan isolasi total terhadap benteng itu akhirnya membuat pasukan Gowa lemah.

18 November 1667, karena ribuan rakyatnya terancam mati di dalam benteng, Sultan Hasanuddin terpaksa menerima opsi menyerah dengan menandatangani sebuah perjanjian di Bungaya, yaitu sebuah daerah di sebelah utara benteng. Karena itu disebut Perjanjian Bungaya. Seluruh isi perjanjian yang sepenuhnya didiktekan oleh Cornelis Janszoon Speelman itu hanya menegaskan hak monopoli VOC.

Perjanjian Bungaya antara lain menegaskan, hanya Kompeni (VOC) yang boleh bebas berdagang di Makassar. Orang India atau Moor (Muslim India), Jawa, Melayu, Aceh, atau Siam tidak boleh memasarkan kain dan barang barang dari Tiongkok. Semua yang melanggar akan dihukum dan barangnya akan disita. Kompeni harus dibebaskan dari bea dan pajak impor maupun ekspor. Pemerintah dan rakyat Makassar tidak boleh berlayar ke mana pun kecuali Bali, pantai Jawa, Batavia, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan Kalimantan. Itu pun harus meminta surat ijin dari komandan Belanda. Mereka yang berlayar tanpa surat ijin dianggap musuh.

Akibatnya, kantor-kantor perwakilan dagang negeri-negeri asing dibubarkan. Warga asing yang menetap diusir keluar dari Makassar. Kota ini segera mengalami degradasi dalam perdagangan, politik, kebudayaan, dan kebebasan beragama.

Speelman memperkecil wilayah Makassar tanpa batas perairan sehingga sulit bangkit lagi. Kawasan pesisir dibuat sebagai kota baru yang diduduki sepenuhnya oleh orang-orang Belanda. Kemudian benteng Ujungpandang diganti namanya menjadi Fort Rotterdam. Pelabuhan Makassar dikuasai secara eksklusif oleh kompeni dalam monopoli perdagangan rempah Maluku. Makassar menjadi kota pelabuhan yang tertutup.

Namun, Perjanjian Bungaya sebenarnya tidak serta merta membuat orang Makassar tunduk. Sultan Hasanuddin tetap bersikeras menjadikan Makassar sebagai pelabuhan bebas. Antara tahun 1668-1669 Sultan Hasanuddin melawan dengan sengit dan kembali kalah. Untuk menegaskan Perjanjian Bungaya, VOC kembali memaksakan penandatanganan perjanjian di Binanga tahun 1669.

Hindia Belanda
Menurut Poelinggomang, praktek perdagangan VOC ini didasarkan pada paham merkantilisme. Kerajaan Belanda menganut paham ini hingga tahun 1824 saat ditandatanginya Traktat London. Merkantilisme memandang kekayaan negara adalah harta dan uang (logam mulia). Bahwa kekayaan itu bersifat tetap sehingga keberhasilan menumpuk kekayaan bagi suatu negara adalah kerugian bagi negara lain. Implikasi dari penerapan paham ini adalah monopoli.

Sementara Inggris, rival Belanda di Asia Tenggara, mempraktekkan perdagangan bebas yang oleh Adam Smith (1723-1790) disebut sebagai liberalisme. Kelak dalam era advanced capitalism perdagangan bebas disepakati menjadi syarat penting bagi globalisasi. Kebalikan dari merkantilisme, liberalisme memandang kekayaan adalah produksi, kesanggupan menemui kebutuhan hidup, kesenangan, dan kemudahan hidup.

Uang bukanlah inti dari kekayaan karena hanya berfungsi sebagai alat tukar. Liberalisme menganggap kekayaan adalah sesuatu yang berkembang. Implikasi penerapannya adalah hasrat untuk mengambangkan pasar seluas mungkin dengan perdagangan bebas. Tidak ada yang mengatur persaingan kecuali invisible hand, yaitu mekanisme pasar itu sendiri.

VOC berkuasa di nusantara hingga tahun 1799. Setelah VOC bangkrut karena korupsi, Belanda melakukan konsolidasi kewilayahan dan membentuk negara Hindia Belanda. Pusat kekuasaan diletakkan di Batavia. Namun kekuasaan pemerintahan baru ini hanya bertahan delapan tahun. Akibat agresi Napoleon Bonaparte (Perancis) di Eropa, negeri Belanda kocar-kacir. Inggris mengambil alih kekuasaan di nusantara sepanjang tahun 1811-1816.

Napoleon kalah pada tahun 1813. Setelah itu lahir Konvensi Inggris yang menyatakan Inggris bersedia mengembalikan kekuasaan atas nusantara kepada Kerajaan Belanda asalkan mau melaksanakan perdagangan bebas di Hindia Belanda. Sayangnya Napoleon kembali dari pembuangan dan Eropa gunjang-ganjing lagi. Pelaksanaan konvensi itu pun terkatung-katung. Baru pada tahun 1824, Inggris mendesakkan Traktat London untuk mempertegas Konvensi London.

Di negaranya, Belanda babak belur setelah perang dengan Napoleon. Tapi harus segera menegakkan kembali kekuasaan atas nusantara. Hindia Belanda tertatih-tatih melaksanakan perdagangan bebas yang dipersyaratkan oleh Inggris. Tahun 1847, dengan terpaksa Hindia Belanda kembali menetapkan Makassar sebagai pelabuhan terbuka.

Namun sesungguhnya tidak pernah ada perdagangan bebas karena Hindia Belanda masih menerapkan pajak perdagangan yang tinggi, melarang perdagangan komoditas tertentu, menetapkan aturan pelayaran yang ketat, dan tidak menegakkan persaingan bebas dalam arti yang sesungguhnya. Hal ini dilakukan untuk melindungi Batavia dari penggerusan peran sebagai pusat ekonomi.

Sebagai ilustrasi, pemerintah Hindia Belanda menerapkan pajak empat hingga lima kali lebih tinggi di Makassar dibanding Batavia pada tahun 1824. Untuk kapal besar dari Kanton, Belanda hanya menerapkan pajak f 5.000 di Batavia, sementara di Makassar pajaknya mencapai f 20.000. Untuk kapal kecil dari Kanton dikenai pajak f 3.000 di Batavia dan f 14.000 di Makassar (Poelinggomang: 1993).

Pada tahun 1906, Hindia Belanda akhirnya kembali menjadikan Makassar sebagai pelabuhan tertutup. Tidak ada satu pun kapal dagang asing yang singgah di kota ini. Komoditas dari nusantara timur dipasarkan kembali secara eksklusif oleh armada Belanda melalui Batavia. Status Makassar sebagai pelabuhan bebas hanya bertahan selama 59 tahun. Tahun-tahun selanjutnya adalah masa suram. Kota ini tidak pernah bangkit lagi menjadi kota dunia.

Ini berbeda dengan yang dilaksanakan Inggris di Singapura. Dalam perkembangannya, Singapura bukan hanya menggerus Makassar tapi juga mengungguli Batavia. Pada tahun 1924, pulau kecil yang tadinya bernama Temasek itu telah mengambil peran besar dalam perdagangan internasional dan menjadi hub utama di Asia Tenggara, kurang lebih sama seperti yang dialami Makassar pada abad ke-17.

Indonesia Modern
Sebagian besar wilayah nusantara yang sekarang bernama Indonesia ini, menurut HW Dick, adalah sebuah wilayah ekonomi yang timpang dan tidak terintegrasi (Dick: 2002). Ibarat sebuah kapal, condong ke arah depan namun miring ke haluan sebelah kiri.

Pada tahun 1990, Jawa dan Bali memiliki proporsi yang besar dalam hal produk domestik riil bruto (PDRB) yaitu sebesar 56,3 persen dari total PDRB nasional. Sumatera di bagian paling barat memiliki proporsi 27 persen, Kalimantan 9 persen. Sementara bagian timur Indonesia sangat mengenaskan. Sulawesi hanya memiliki proporsi 4 persen, Nusa Tenggara 1 persen, Maluku 1 Persen, dan Papua 1 persen. Hingga tahun 2005 kondisi ini tidak mengalami perubahan penting. Ketimpangan ekonomi nasional ini tentu tidak dapat dilepaskan dari aspek ekonomi-politik sejarah sejak zaman Hindia Belanda.

Era kapitalisme modern di Indonesia terbentuk jauh setelah konsolidasi politik Hindia Belanda. Kemunculannya baru ditandai dengan pembentukan Nederlandsch Hendel Maatschapij (NHM), sebuah perusahaan negara semacam BUMN, pada tahun 1828. Kapitalisme modern adalah sebuah sistem ekonomi yang berbasis modal koorporasi. Karena itu negara melepaskan diri dari kontrol atas produksi dan perdagangan.

Dick menulis, NHM memainkan peranan besar dan hampir tunggal dalam produksi pertanian di Pulau Jawa pada era cultuur stelsel (tanam paksa) dan setelahnya. Karena perannya ini, NHM telah memantik transformasi sosial di Jawa dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Para petani di Jawa, yang sebagain besar sebenarnya adalah para pemilik lahan, dimobilisasi menjadi tenaga upahan dalam perkebunan tebu, karet, dan kopra, untuk memenuhi kebutuhan pasar internasional. Mobilisasi yang hampir intensif juga terjadi di Sumatera.

Di luar kedua pulau ini, NHM tidak memiliki perhatian yang besar selain sekadar untuk berdagang. Di Sulawesi, NHM mengalami kesulitan dalam mendapatkan tenaga kerja berlimpah dan murah sebagaimana di Jawa dan Sumatera. Akibatnya, di tengah iklim monopoli yang dilakukan NHM, Makassar sangat sedikit mengalami transformasi industrial sebagaimana di kota-kota di Jawa. Kecuali sebagian kecil masyarakat Takalar yang mengalami transformasi karena industri gula yang berdiri awal tahun 1900-an.

Sebenarnya hingga tahun 1913, sudah ada 2.686 perusahaan swasta selaian NHM. Namun tidak ada satu pun koorporasi yang bisa melakukan hal yang sama di luar Jawa dan Sumatera. Selain karena kebijakan pajak yang mencekik, perusahaan-perusahaan itu lebih tertarik masuk di Jawa karena tenaga kerja yang melimpah dan murah.

Pada awal 1900, Jawa telah menjadi kantong industri paling modern di Hindia Belanda di mana jaringan telegraf terhubung melalui Singapura. Juga jaringan jalan dan kereta api yang menghubungkan kota-kota dengan wilayah perkebunan. Sementara, menurut Dick, sebagian besar pulau di luar Jawa seperti mengapung saja dengan kekosongan ekonomi. Kondisi seperti ini berlangsung terus hingga Indonesia merdeka.

Pemerintah RI setelah merdeka lalu mewarisi ekonomi nasional yang tidak terintegrasi. Komposisi potensi yang terbangun semasa era kolonial tetap sulit diubah. Upaya Pemerintah RI untuk menyeimbangkan pendulum ekonomi selalu tidak membuahkan hasil besar. Sebagian sebab kegagalan itu disinyalir juga karena berbagai pemberontakan tahun 1950-an seperti PRRI/Permesta dan DI/TII.

Era tahun 1990-an, muncul kritik atas pemerintahan yang Jakarta sentris. Awal tahun 2000, otonomi daerah dijalankan dengan harapan daerah-daerah lebih bebas dalam berkreasi membentuk kemajuannya sendiri. Bagi Makassar sejauh ini belum membuahkan hasil besar dan belum bisa membuka lagi jalur pelayaran internasional. Perdagangan masih lebih banyak terjadi antara Jawa dan luar Jawa ketimbang luar Jawa dan luar Jawa. Apalagi antara Makassar dan puncak-puncak pasar dunia.(*)

Tidak ada komentar: